Seniman Lokal Ciptakan Mural – Di tengah hiruk-pikuk Kota Surabaya, sebuah karya seni membetot perhatian siapa pun yang melintas. Bukan mural biasa, ini adalah mural slot depo 5k interaktif bertema lingkungan, ciptaan seniman lokal yang sukses mengubah tembok kosong menjadi panggung edukasi dan aksi. Lokasinya strategis, tepat di pusat kota yang padat lalu lintas bisa dibilang, di jantung kehidupan urban Surabaya.
Yang membuat mural ini istimewa bukan hanya ukurannya yang masif, tetapi karena ia bisa “berinteraksi” dengan publik. Pengunjung bisa memindai bagian tertentu dengan ponsel dan langsung diarahkan pada fakta-fakta mencengangkan tentang kondisi lingkungan, mulai dari polusi udara hingga krisis sampah plastik di laut Jawa. Ini bukan mural untuk difoto saja, tapi mural yang bicara, yang memaksa orang berpikir, bahkan bereaksi.
Kronologi Lengkap Seniman Lokal Ciptakan Mural
Di balik karya monumental ini adalah kolaborasi empat seniman lokal: Raka Sembada, Lilis Nurcahya, Toni Nugroho, dan Dewi Maharani. Mereka bukan sekadar pelukis dinding; mereka adalah aktivis visual, yang menyulap cat menjadi senjata advokasi. Raka, sebagai inisiator proyek, menyatakan bahwa mural ini bukan proyek seni biasa, melainkan “pesan darurat” untuk warga kota yang hidup berdampingan dengan polusi dan limbah setiap hari, namun seringkali abai.
Lilis menambahkan, mereka sengaja menggunakan warna-warna mencolok dan kontras untuk menggugah emosi. “Kami ingin orang yang lewat merasa tidak nyaman, terprovokasi, bertanya-tanya: apa maksud mural ini?” katanya. Dan memang, hasilnya terasa. Dalam hitungan hari sejak mural ini selesai, media sosial lokal penuh dengan unggahan warga yang membahas makna di balik simbol-simbol visual yang digunakan.
Baca Juga Berita Terbaik Lainnya Hanya Di georgecramer.com
Mengacak Ketenangan Kota yang Terlalu Biasa
Mural ini mengambil latar cerita distopia tentang Surabaya di tahun 2050, ketika air bersih hanya bisa dibeli dengan harga selangit dan pohon hanya ada di museum. Gambarnya menggambarkan sosok manusia berkepala plastik, burung yang terperangkap dalam kantong kresek, dan sungai berwarna hitam legam dengan tangan-tangan kecil anak-anak yang muncul dari dalamnya. Semua itu menohok kesadaran kita, menghantam imajinasi yang selama ini terlalu nyaman dalam rutinitas kota yang sibuk.
Masyarakat tidak dibiarkan pasif. Bagian interaktif dari mural ini yang bisa diakses melalui augmented reality (AR) menyediakan data real-time tentang kualitas udara Surabaya, serta informasi tentang titik-titik daur ulang sampah terdekat. Ini bukan sekadar karya visual, tapi juga peta aksi.
Tantangan dan Respons
Namun jalan mereka tidak mulus. Pemerintah kota awalnya menolak proyek ini karena dinilai terlalu “keras” dan bisa menimbulkan kontroversi. Bahkan ada ormas yang melaporkan mural ini karena dianggap mengandung “propaganda”. Tapi para seniman tetap melaju. Mereka justru menjadikan kritik itu sebagai bagian dari narasi mural. Sebuah sudut tembok bahkan ditambahkan dengan grafiti yang bertuliskan “Censorship is Pollution” sebagai bentuk perlawanan simbolik.
Respons publik? Luar biasa. Warga dari berbagai kalangan mahasiswa, pekerja kantoran, hingga komunitas pegiat lingkungan berbondong-bondong datang hanya untuk melihat dan merasakan langsung kekuatan mural ini. Tak sedikit yang membawa anak-anak mereka, menjadikan mural sebagai alat edukasi yang menyenangkan dan menggugah.
Mural Sebagai Medium Perlawanan
Karya ini adalah bentuk perlawanan terhadap apatisme. Di tengah kota yang penuh baliho iklan, mural ini hadir sebagai gangguan visual yang menyelamatkan. Ia tidak menawarkan kenyamanan, melainkan ketidaknyamanan yang produktif. Ini bukan sekadar karya seni, melainkan alarm visual yang menggetarkan kesadaran kolektif kota.
Pusat kota bukan lagi hanya ruang komersial. Ia kini juga menjadi ruang kontemplatif, tempat kita diajak menghadapi kenyataan pahit yang seringkali sengaja kita tutupi: bahwa bumi sedang sakit, dan kita semua adalah bagian dari sebab maupun solusi.