Mengenal Laesan, Kesenian Langka Berbau Mistis dari Lasem

Mengenal Laesan – Di balik tenangnya Lasem, sebuah kota kecil di pesisir utara Jawa Tengah, tersimpan sebuah kesenian langka yang begitu nyentrik dan nyaris dilupakan: Laesan. Bukan sekadar pertunjukan seni biasa, Laesan adalah ritual budaya yang membaurkan unsur seni, spiritualitas, dan mistisisme dalam satu kemasan yang tak bisa dianggap remeh. Inilah warisan leluhur yang tidak hanya mempertontonkan gerakan dan irama, tapi juga menyusup ke alam bawah sadar penontonnya.

Laesan bukan sekadar pertunjukan untuk memuaskan dahaga hiburan. Ia hadir sebagai jembatan antara dunia nyata dan dunia tak kasatmata. Dalam setiap gerakan dan irama, tersimpan pesan-pesan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang masih terhubung dengan akar budaya Lasem yang dalam. Tidak heran jika sebagian orang menyebut Laesan sebagai tarian roh—karena memang tidak semua penari sadar sepenuhnya saat mereka menari.


Gerakan yang Tak Terkendali, Seolah Dirasuki

Penampilan Laesan tidak pernah bisa ditebak. Penarinya kadang mulai dengan gerakan lembut dan perlahan, tapi tiba-tiba bisa berubah menjadi liar dan menggila. Mereka berputar, menggeliat, bahkan jatuh bangun tanpa rasa sakit. Tubuh-tubuh itu bergerak seolah dirasuki kekuatan tak terlihat. Mata kosong, wajah kerasukan, namun tak satu pun penonton berani menyela. Ini bukan panggung biasa. Ini adalah medan spiritual.

Kostum yang digunakan pun tidak main-main. Kain panjang dengan motif khas, aksesoris kepala dari daun atau kembang setaman, hingga asap kemenyan yang mengepul sepanjang pertunjukan, semuanya menciptakan atmosfer ritual yang mencekam. Kadang terdengar bisikan mantra dari dalang atau sesepuh yang memimpin, menandai bahwa apa yang terjadi di depan mata bukan sekadar seni, melainkan bagian dari praktik kepercayaan mahjong slot.


Iringan Musik yang Menghipnotis

Satu hal yang tidak boleh dilewatkan dari Laesan adalah iringan musiknya. Alih-alih orkestra megah atau gamelan mewah, Laesan justru mengandalkan suara alat musik tradisional sederhana seperti kendang, gong kecil, dan kadang hanya rebana. Tapi jangan remehkan suara-suara ini. Irama monoton dan repetitifnya justru menjadi pengantar menuju kondisi trans, baik bagi penari maupun penonton.

Tak jarang pula suara gong dan kendang diselingi dengan pekikan atau teriakan yang keluar secara spontan, entah dari penari yang kerasukan atau dari tokoh spiritual yang memandu pertunjukan. Semuanya menyatu dalam harmoni yang liar dan memabukkan, menciptakan suasana yang membuat bulu kuduk merinding.


Asal-Usul yang Masih Diselimuti Kabut

Meski telah ada sejak ratusan tahun silam, asal-usul pasti Laesan tetap menjadi misteri. Beberapa sejarawan lokal mengaitkannya dengan praktik ritual pelaut Tionghoa dan Jawa yang bermukim di Lasem—sebuah wilayah yang terkenal sebagai tempat percampuran budaya Jawa, Tiongkok, dan Islam. Laesan diduga lahir dari kebutuhan spiritual untuk meminta perlindungan saat melaut atau bertani, dengan harapan agar terhindar dari bencana atau gangguan gaib.

Namun, tidak sedikit pula yang percaya bahwa Laesan adalah peninggalan dari aliran kepercayaan kuno yang berakar dari animisme dan dinamisme. Konon, tarian ini menjadi media komunikasi dengan roh-roh leluhur atau penjaga wilayah. Maka tak heran jika pertunjukan ini tidak bisa digelar sembarangan. Harus ada syarat dan ritual pembuka yang dijalankan dengan penuh kehati-hatian. Salah langkah sedikit saja, dipercaya bisa mendatangkan petaka.


Terancam Punah di Tengah Modernisasi

Ironisnya, di tengah gegap gempita modernisasi dan gemerlap pariwisata, Laesan justru makin ditinggalkan. Generasi muda Lasem banyak yang tidak mengenalnya, apalagi mau melestarikannya. Pertunjukan ini dianggap terlalu menyeramkan, terlalu mistis, dan tidak cocok dengan selera zaman. Bahkan sebagian kalangan menganggapnya bertentangan dengan nilai-nilai agama modern.

Padahal, Laesan adalah cerminan dari sejarah, spiritualitas, dan seni yang melebur menjadi satu. Keunikannya tidak bisa ditandingi pertunjukan kontemporer mana pun. Ketika ia hilang, bukan hanya satu kesenian yang lenyap, tapi juga jejak spiritualitas kolektif sebuah masyarakat yang perlahan dilupakan.

Exit mobile version